Kenali Kebenaran, Maka Kamu Akan Tahu Siapa Yang Benar. Lihatlah Apa Yang Dikatakan Jangan Melihat Siapa Yang Mengatakan.

Jumat, 05 Agustus 2011

Sunnah-Sunnah yang Ditinggalkan di Bulan Ramadhan


Sunnah-Sunnah yang Ditinggalkan
di Bulan Ramadhan
Oleh : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Ada hadits yang seringkali diabaikan karena adanya hadits lain, karena sebagian besar orang tidak dapat menyatukan dalam praktek dan penerapan diantara keduanya. Hadits ini adalah sabda beliau :
 “Ummatku akan tetap berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur.”
Disini ada dua perkara yang disebutkan, dan keduanya ditinggalkan oleh sebagian besar manusia, dan keduanya adalah: menyegerakan berbuka, dan menunda (memperlambat) sahur. 

Adapun meninggalkan perkara yang pertama, mempercepat berbuka puasa, dalam pandangan sebagian orang menyelisihi hadits lain, yakni sabda beliau : “Ummatku akan tetap berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan (tidak mengakhirkan) shalat Maghrib.”

Disini ada dua perintah, untuk menyegerakan dua perkara. Sehingga tampak bagi sebagian orang bahwa kita tidak dapat menyegerakan dua hal sekaligus. Namun menyatukan antara perintah menyegerakan berbuka puasa dan menyegerakan shalat Maghrib adalah sesuatu yang sangat mudah. Ini adalah sesuatu yang Nabi kita menjadikannya jelas bagi kita dengan amal perbuatan beliau. Beliau berbuka dengan tiga butir kurma. Beliau makan tiga butir kurma. Kemudian beliau shalat Maghrib, kemudian beliau makan apabila beliau mendapati dirinya membutuhkan makan malam.

Namun sekarang ini, kita jatuh ke dalam dua pelanggaran:

Pertama kita menunda Adzan dari waktu yang ditentukan. Dan setelah penundaan ini datang penundaan yang lain, yakni kita duduk untuk makan – kecuali bagi beberapa orang yang berhasrat shalat Magrib di masjid. Namun sebagian besar manusia menunggu hingga mereka mendengarkan Adzan, kemudian mereka duduk untuk makan seperti mereka hendak makan malam, dan bukan sekedar membatalkan puasa.

Adzan pada masa sekarang ini – di sebagian negeri Islam, sayangnya, saya harus mengatakan, dan bukan hanya di Jordan, dan saya mengetahuinya melalui penelitian, di sebagian besar negeri Islam – Adzan Maghrib dilaksanakan setelah waktunya. Dan alasannya adalah karena kita mengabaikan berpegang kepada - dan menerapkan – kaidah Islam, dan sebaliknya kita bergantung pada perhitungan astronomi. Kita bergantung pada jadwal. 

Namun jadwal ini (dibuat) berdasarkan perhitungan astronomi yang menganggap negeri ini sebagai sebuah bidang datar. Maka mereka menetapkan waktu untuk bidang datar ini, manakala kenyataannya negeri ini, khususnya negeri kita bervariasi, berbeda antara rendahnya lembah dan tingginya gunung. Maka tidak benar sebuah waktu ditetapkan yang meliputi pantai, dataran dan pegunungan. Tidak, setiap bagian negeri memiliki waktunya tersendiri.  Maka barangsiapa yang mampu di tempat dimana dia tinggal, di kota atau di desanya, melihat matahari terbenam dengan matanya, maka kapan pun dia terbenam, maka itulah (waktu) bersegera yang kita diperintahkan dengan perkataan beliau  yang baru saja kami sebutkan: “Ummatku akan tetap berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” 

Nabi  sangat teliti dalam menerapkan Sunnah dengan mengajarkannya dan menerapkannya. Adapun ajarannya, beliau  bersabda, dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya (no. 1954), “Jika waktu malam tiba dari dari arah sana,” dan beliau menunjuk ke arah timur, “dan waktu siang berlalu dari arah sana,” dan beliau menunjuk ke arah barat, “dan matahari telah terbenam, berarti orang yang berpuasa telah berbuka.”

Apa maksud puasanya orang yang berpuasa telah berbuka? Artinya dia telah masuk dalam hukum dimana dia harus membatalkan puasanya. Kemudian datang hukum sebelumnya dimana Rasulullah mendorong untuk menyegerakan berpuka puasa, dan Rasulullah melaksanakannya,  meskipun beliau berkendaraan dalam perjalanan.

Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari (no. 1955) bahwa Nabi memerintahkan salah seorang sahabatnya untuk mempersiapkan iftaar baginya. Dia menjawab, “Ya Rasulullah, hari masih terang di depan kita.” Artinya: cahaya matahari, meskipun telah terbenam, namun cahayanya masih jelas di sebelah barat. Rasulullah tidak menanggapi perkataannya, sebaliknya beliau menekankan kembali perintah kepadanya untuk mempersiapkan iftaar. Maka perawi hadits yang berkata: Kami dapat melihat siang di depan kami - maksudnya cahaya hari, cahaya matahari – ketika kami berbuka puasa, berkata: “Jika salah seorang dari kami naik ke punggung untanya, dia akan dapat melihat matahari.” 

Matahari telah terbenam disini dan Rasulullah memerintahkan salah seorang sahabat untuk mempersiapkan iftar. Mengapa? Untuk bersegera di atas kebaikan. “Ummatku akan tetap dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.”

Maka yang penting adalah kita memperhatikan bahwa iftaar (berbuka puasa), yang disyariatkan untuk disegerakan mestinya dilakukan dengan beberapa butir kurma. Kemudian kita harus bersegera shalat. Kemudian setelah itu orangorang dapat duduk dan makan sesuai dengan kebutuhannya.

Ini adalah perkara pertama, yang ingin saya peringatkan kepada anda, dan inilah cara menjama’ kedua hal yang diperintahkan Nabi agar kita bersegera melaksanakannya. Yang pertama adalah perintah untuk menyegerakan berbuka, dan yang kedua adalah bersegera mengerjakan shalat Maghrib. Maka berbuka puasa mestinya dilakukan dengan beberapa butir kurma, sebagaimana yang terdapat dalam Sunnah, dan jika tidak terdapat kurma, dengan beberapa teguk air. Kemudian shalat Maghrib harus dilakukan secara berjama’ah di Masjid.

Perkara lain yang ingin saya peringatkan kepada anda adalah apa yang terdapat pada hadits sebelumnya “dan mereka mengakhirkan makan sahur” maksudnya apa yang diperintahkan disini adalah kebalikan dari berbuka puasa. Beliau memerintahkan kita untuk menyegerakan iftar. Namun adapun Sahur, maka pelaksanaannya dilambatkan (diakhirkan). Namun apa yang terjadi sekarang ini adalah sangat bertentangan dengan hal tersebut, karena banyak orang makan Sahur sekitar satu jam sebelum munculnya Fajar. Hal ini tidak berfaedah. Hal ini berlawanan dengan Sunnah yang ditunjukkan dengan sabda Nabi, dan dengan perbuatan beliau. Para sahabat Nabi dahulu mengerjakan Sahur sangat lambat sehingga salah seorang dari mereka hampir mendengarkan Adzan dan dia masih makan karena menghakhirkan Sahur.


Terdapat sebuah hadits shahih yang diriwayatkan dari  Nabi yang menunjukkan kemudahan dalam Islam, yang dihitung sebagai salah satu kaidah prinsip di dalam Islam, yang dibanggakan kaum  Muslimin, khususnya yang berkenaan dengan puasa, karena Allahmengakhiri ayat mengenai Puasa dengan firman-Nya:
 
 .....يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ....
“...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu....” (QS Al-Bqarah [2] : 185)

Dari kemudahan ini adalah sabda beliau : “Jika salah seorang dari kamu mendengarkan panggilan untuk shalat dan dia masih memegang gelas di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya sampai dia memenuhi hajatnya.”

“Jika salah seorang dari kamu mendengarkan panggilan untuk Shalat dan gelas…” gelas ini mengandung makanan, apakah itu susu, minuman, air, apa saja yang dikonsumsi seseorang pada saat Sahur, dan dia mendengarkan Adzan maka dia tidak boleh berkata, sekarang makanan ini terlarang karena Adzan telah terdengar. Seseorang yang telah tercukupi, maka tidak diperbolehkan baginya untuk menambah lagi, apakah itu minuman atau buah, ketika dia telah tercukupi dengan apapun yang dia makan.

Namun bagi orang yang mendengarkan Adzan dan belum mengambil dari apa yang dia butuhkan dari makanan dan minuman, maka Rasulullah membolehkan hal tersebut baginya. Beliau mengatakan dengan jelas, dalam bahasa Arab yang jelas dan fasih, “Jika salah seorang dari kamu mendengarkan panggilan untuk shalat, dan gelas berada di tangannya, maka janganlah dia meletakkannya sampai dia memenuhi hajatnya.”

Dan panggilan yang dimaksudkan disini adalah panggilan kedua, Adzan kedua. Bukan Adzan pertama, yang mereka keliru menyebutkannya sebagai Adzan Imsak. Kita harus mengetahui bahwa tidak ada dasarnya menyebut Adzan pertama sebagai Adzan Imsak. Adzan kedua dimana kita harus menahan diri, dan ini dengan jelas disebutkan di dalam Al-Qur’an, karena Allah Azza wa Jalla berfirman:

 وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
 “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Al- Baqarah: 187)

Jadi makan menjadi terlarang sejak masuknya waktu Shalat Fajat. Tidak ada pemisahan antara kedua hal ini. Tidak ada puasa dari makan dan minum seperempat jam atau kurang dari itu, sebelum mulainya waktu shalat Fajar. Sama sekali tidak. Karena waktu Shalat ketika munculnya fajar, dan makan dan minum terlarang bagi orang yang berpuasa ketika munculnya fajar. Maka tidak ada pemisahan antara keduanya sama sekali.

Kemudian terdapat hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim, dari hadits Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab radhiallahu anhu bahwa Nabi SAW bersabda:
 “Jangan kalian terkecoh oleh Adzan Bilal..” maksudnya Adzan pertama. “…karena dia Adzan untuk membangunkan orang yang tidur, sehingga orang yang hendak sahur dapat melakukannya. Maka makan dan minumlah sampai Ibnu Maktum mengumandangkan Adzan.” Ibnu Ummu Maktum yang bernama Amr adalah seorang yang buta, dan dialah orang yang disebutkan di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

عَبَسَ وَتَوَلَّى (١)أَنْ جَاءَهُ الأعْمَى ............(٢)
 “Dia (Muhammad) bermuka masam karena telah datang seorang buta kepadanya. ….. (sampai di akhir ayat). (QS Abasa)

Bagaimana dia mengumandangkan Adzan sedangkan dia buta? Ini adalah pertanyaan yang biasa muncul pada sebagian orang. Amr Ibnu Ummu Maktum memanjat dinding masjid, namun dia tidak dapat melihat fajar, maka dia menunggu seseorang lewat dan melihat fajar. Maka ketika seseorang melihat fajar telah datang dan menebar di ufuk langit, mereka berkata kepadanya, “Fajar! Fajar!” Maka dia mengumandangkan Adzan.

Dengan demikian, ada ruang dalam perkara ini, karena Muadzin menunda mengumandangkan Adzan sampai mendengar orang mengatakan kepadanya “Fajar, Fajar.” Dan Nabi  bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian mendengarkan panggilan untuk shalat dan gelas masih berada di tangannya, maka janganlah meletakkannya sampai dia memenuhi kebutuhannya darinya.”

Sungguh benar firman Allah Ta’ala ketika Dia berkata di akhir ayat yang berhubungan dengan puasa:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
 “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu ber-syukur.” (QS Al-Bqarah [2] : 185)

Oleh karena itu dari Fiqh yang perlu dikritisi dan yang bertentangan dengan Sunnah, yakni seseorang mengatakan: “Jika seseorang mendengarkan Adzan dan masih terdapat makanan di dalam mulutnya, maka dia harus mengeluarkannya.” Ini batasan Agama, dan Tuhan segala mahluk telah memerintahkan dan mengingatkan kita di dalam Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya  bahwa kita tidak boleh melampaui batasan Agama. Allah berfirman dalam Al-Qur’anul Karim:
 “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (QS An-Nisa [4] : 71)

Dan Rasul kita s berkata kepada kita, atau beliau SAW bersabda: “Berhati-hatilah terhadap sikap berlebih-lebihan dalam agama. Karena orangorang yang datang sebelum kalian binasa karena melampaui batas dalam agamanya.”

Rasulullah telah menjelaskan kepada kita ada ruang dan batasan untuk kemudahan dalam perkara sahur bagi seseorang, sehingga beliau berkata: “Jika salah seorang dari kalian mendengarkan panggilan untuk shalat dan gelas masih berada di tangannya, maka janganlah meletakkannya sampai dia memenuhi hajatnya.”

Maka adalah menyelisihi Allah dan Rasul-Nya manakala seseorang berkata bahwa orang yang mendengarkan Adzan sedangkan masih ada makanan di dalam mulutnya harus memuntakannya ke tanah. Ini bukanlah dari Sunnah. Bahkan ini bertentangan dengan Sunnah, dan ber-tentangan dengan perintah yang jelas dari Rasulullah. Saya telah ditanyai beberapa kali, maka saya tidak akan memberikan kesempatan untuk menanyakan hal yang sama, sebaliknya saya akan memberikan jawaban kepada anda, dengan mengatakan bahwa hadits ini dapat ditemukan dalam sebagian kitabkitab sunnah yang paling masyhur. Diantaranya  dari Sunan Abu Dawud, kitab ketiga dari enam kitab yang terkenal. Yang pertama adalah Shahih Bukhari, yang kedua Shahih Muslim dan yang ketiga adalah Sunan Abu Dawud. Hadits tersebut dapat ditemukan di dalamnya, demikian juga diriwayatkan oleh Abu Abdillah Al- Hakim dalam Al-Mustadrak, dan juga diriwayatkan oleh Imam Sunnah, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, di dalam kitabnya yang terkenal Musnad Imam Ahmad.

Jadi hadits tersebut bukan hadits yang asing, bahkan merupakan hadits yang terkenal, dan diriwayatkan oleh Imam Sunnah di periode awal, dengan sanad yang shahih. Maka disini saya katakan, untuk menyimpulkan pembahasan ini, karena mungkin beberapa di antara kalian mungkin mempunyai pertanyaan yang akan kami jawab insya Allah, maka saya akan mengakhirinya dengan perkataan beliau : “Allah mencintai kemudahan dari-Nya dilaksanakan sebagaimana Dia mencintai perintah-Nya ditaati,” dan dalam riwayat yang lain, “sebagaimana Dia membenci kemungkaran kepada-Nya.”

Ada dua riwayat: “Allah mencintai kemudahan dari-Nya dilaksanakan sebagaimana Dia mencintai perintah-Nya ditaati,” dan riwayat yang kedua, “sebagaimana Dia membenci kemungkaran kepada-Nya.”

Oleh karena itu seorang Muslim tidak seharusnya melaksanakan ketaatan yang semu, dan (sebagai akibatnya) menahan diri dari Sunnah Nabi  dalam apa yang dianjurkan dan dijelaskan beliau kepada kita. Apa yang telah dijelaskan telah mencukupi.

Alhamdulillahi Rabbil Alamin.

Catatan
Sumber dari artikel berbahasa Inggris yang dari situs www.calltoislam.com, yang diterjemahkan dari kaset Silsilah al-Huda wan-Nur, kaset no. 590.

Diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Ummu Abdillah al-Buthoniyah dan di terbitkan dalam bentuk Ebook pada http://www.raudhatulmuhibbin.org

Disadur sebagian  dan di edit kembali oleh Abuzzaman As Sundee.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar